Sunday, January 29, 2017

PTK (CLASSROOM ACTION RESEARCH)

PTK (CLASSROOM ACTION RESEARCH)


  JASA PEMBUATAN ADMINISTRASI BP/BK DI SEKOLAH DAN PTK/BK

         

Atau Cek FB Kami  DISINI  


Keberhasilan pengajaran dalam meningkatkan pemahaman materi-subjek yang utuh dan kritis berhubungan erat dengan upaya pengajar dan pembelajar untuk mengkonstruksi kerangkaberpikir bersama. Upaya mengkonsruksi tersebut diwujudkan melalui interaksi kognitif komponen-komponen materi-subjek, pengajar, dan pembelajar dalam bentuk kegiatan dialog dan argumentasi dari proses belajar– mengajar .

Istilah materi-subjek, pengajar, dan pembelajar, disatu pihak, dan mengkonstruksi dilain pihak, masing-masing adalah totalitas dan logika -internal dari PBM. Interaksi dari ketiga komponen totalitas tersebut berlangsung berdasarkan hubungan ketergantungan yang saling menguntungkan dengan melihat setiap komponen sebagai kewenangan wacana menurut posisinya masing-masing. Kewenangan pelajar adalah sebagai pengendali yang berkaitan dengan tugas menyelaraskan materi-subjek untuk meningkatkan interaksi kelas. Kewenangan pelajar adalah sebagai pemula yang berkaitan dengan tugas memahami nilai kebenaran dari materisubjek melalui interaksi kelas. Kewenangan materi-subjek adalah sebagai rujukan nilai
kebenaran bagi interaksi kelas karena peranannya sebagai wakil disiplin ilmu.

Beberapa dasar penting dari penelitian kelas perlu dikemukakan terlebih dahulu untuk membuka jalan kepada penelitian kelas untuk berkembang mandiri. Kemandirian ini dimungkinkan oleh domain, epistemology, dan metologi penelitian kelas yang khas dan terpisah dari penelitian standar. Kemandirian tersebut bersumber dari pandangan bahwa PBM adalah penomena wacana yang secara mendasar mempunyai system kemaknaan melebihi penomena alamiah yang membatasi diri pada kemaknaan pisik. Contohnya, dalam penelitian IPA penggunaan metapor (model visual) dianggap mengurangi ketetapan eksplanasi, sedangkan dalam wacana metapor merupakan instrument sosial untuk mengungkapkan makna kesehariharian yang lebih mendalam.

Penerapan penelitian standar dalam PBM dalam demikian perlu dihindari karma merupakan tindakan yang kurang hati-hati dan kurang menghargai hakekat kompleksitas masalah. Dalam penomena alam, tidak dilibatkan aspek kejiwaan sedangkan dalam wacana ini merupakan tugas mendasar yang perlu diungkapkan yang diterimakan sebagai motif (niat, keinginan, intuisi, keyakinan, dsb). Perbedaan ini secara epistemology menghendaki metodologi dan pada akhirnya system eksplanasi yang melibatkan dasar-dasar wacana untuk mengungkapkan motif tersebut. Penelitian standar yang mengabaikan aspek motif ini juga mengabaikan sipat dasar kewacanaan PBM.

A. Apakah Penelitian Tindakan Kelas Itu ?
Sejalan dengan umur penelitian kelas yang masih relatip muda, aspek metodologi juga menjadi isu penting, karma berkaitan erat dengan sejuah mana penelitian kelas dapat dipertahankan jika di ingat bahwa kehadirinnya merupakan reaksi terhadap tradisi penelitianstandar yang telah mapan. Pandangan lintas disiplin yang mendasari penelitian-kelas nampaknya masih harus menghadapi sekat-sekat disiplin keilmuan yang masih terlalu kuat dipertahankan. Cukup mengherankan, umpamanya, melihat bahwa Hand book of Research on Science Teaching and Learning (Gabel, 1994) tidak menyinggung penelitian-kelas. Dasar pandangannya yang memisahkan mengajar dari belajar kiranya masih dominant cukup menjadi hambatan bagi seseorang yang mendalami PBM.

Pandangan Pakar Eksakta

Tidak dilibatkannya penelitian kelas dalam Hand book of Research on Science Teachingand Learning menunjukan suatu ketidak-perdulian yang cukup serius terhadap realita permasalahan yang dihadapi pengajar dilapangan. Sebagai buku rujukan bagi penelitian pendidikan science, keadaan tersebut merupakan ketidak-perdulian profresional yang cukup mengkuatirkan. Kekurang-perdulian tersebut terlihat dari :

(1) Kurangnya penghargaan terhadap kompleksitas dari PBM sehingga tidak merasa perlu melibatkan penelitian lainnya yang secara metodologi tidak sejalan dengan pandangan penelitian standar. Penelitian pengajaran MIPA dianggap perlu sejalan dengan penelitian standar, karma kemiripan substansi dari penelitian, yaitu MIPA, yang kiranya suatu kekeliruan, karma PBM bukanlah penomena alamiah seperti halnya MIPA, melainkan penomena wacana.

(2) Lebih mendasar, kurangnya pandangan mengenai totalitas dan logika internal yang mengendalikan PBM, karma terlalu ketatnya hubungan antara kegiatan penelitian dengan kegiatan observasi. Inpomasi yang diperoleh adalah hasil observasi langsung dianggap sebagai data atau pakta untuk menunjang suatu klaim dilain pihak, penelitian sosial tidak dapat langsung menjadikan inpormasi hasil observasi menjadi data, melainka baru merupakan sumber data yang masih diperhalus menjadi data. Kompleksitas dari sumber data tidak memungkinkannya dapat langsung diambil menjadi data.

Mengingat telah membudayanya penelitian-standar secara meluas pertanyaan mengenai bagaimana membebaskan diri dari pandangannya merupakan pertanyaan yang mendasar bagi penelitiaan kelas. Tanpa disadari, dalam melaksanakan penelitian kelas, peneliti cenderung membaurkannya dengan penelitiaan standar. Sebagai contoh, konsep sample masih digunakan oleh sementara pakar penelitian-kelas (lihat, Hopkins, 1989; Garnett dan Treagust, 1992) karna masih kuatnya asosiasi pekerjaan meneliti dengan tugas membuat generalisasi. Keadaan ini perlu disayangkan karna asosiasi semacam ini kurang menghargai pandangan dasar penelitian-kelas.

Walaupun demikian, penelitian-kelas dibelakangan ini telah mulai memperlihatkan kontribusinya terhadap pemahaman PBM yang ilaksanakan secara actual didalam kelas (lihat contohnya, Geddis, Onslow, Beynon, dan Oesach, 1992;Valeras, 1996). Kontribusi tersebut terwujud melalui hasil temuan yang menggambarkan totalitas kehidupan kelas sebagai hubungan ketergantungan antara pengajar, pembelajar, dan materi subjek. Pengertian hasil temuan didalam penelitian ini kiranya sangat berbeda bagi seseorang yang melakukan penelitian dengan tradisi formalistic. Bagi penelitian naturalistic, hasil temuan berupa pemahaman dan pengukuhan yang mendalam mengenai kehidupan kelas dapat menjadi dasar untuk menjelaskan isu serupa, bukannya mengklaim bahwa hasil temuan berlaku bagi populasi tertentu.

Konstruksi Pengetahuan Sebagai Tugas Utama PBM

Studi mengenai kehidupan kelas pada akhirnya harus memperlihatkan logika-internal PBM yang dapat diungkapkan berdasarkan motif atau tema pokok yang mengendalikan hubungan ketergantungan komponen-komponen pengajar, pembelajaran, dan materi-subyek. Fungsi motif hanya dapat diungkapkan dengan melihat PBM sebagai fenomena wacana, karena totalitas kegiatan yang membentuk hubungan ketergantungan tersebut berlangsung menggunakan bahasa untuk berlangsungnya interaksi. Unit-unit tindakan yang membentuk kegiatan tersebut merupakan unit-unit wacana yang juga merupakan unit analisis bersama setiap komponen dalam hubungan antar-ketergantungan tersebut. Adanya unt analisis bersama ini merupakan fasilitas untuk mengungkapkan hubungan antar-ketergantungan dari komponenkomponen dalam PBM.

Untuk memahami lebih dekat bagaimana kiranya proses mengkonstruksi pengetahuan berlangsung, diperlukan metodologi tersendiri yang dikembangkan berdasarkan pemahaman terhadap permasalahan PBM. Metodologi ini pada dasarnya adalah suatu enkuari hasil pengembangan etnografi berdasarkan sifat dasar wacana dari totalitas PBM. Etnografi adalah suatu metoda antropologi untuk mengungkapkan suatu fenomena yang berada dalam situasi, tempat, dan kondisi suatu budaya tertentu. Sebagai suatu enkurasi, etnografi bukan hanya sekedar metoda untuk memperoleh dan merekam sumber data, melainkan suatu pendekatan yang perlu disesuikan dengan analisis wacana. Observasi sebagai instrumen utama perlu diperdalam dengan hasil interviu terhadap guru, hasil pekerjaan pembelajar, yang keseluruhannya perlu terlebih dahulu direkam untuk memungkinkan analisis berdasarkan satu sistim deskriptif dari totalitas PBM. Istilah penelitian-kelas digunakan sebagai istilah umum untuk merujuk berbagai metoda penelitian lapangan tersebut yang membentuk sistim deskriptif tersebut. Jika dapat diartikulasikan secara teoretis, pengetahuan dari hasil penelitian-kelas dapat menjadi sumber pengetahuan lapangan untuk melengkapi pengetahuan formal pengajar yang sudah ada. Usaha ini hanya dapat dilakukan melalui penelitian-kelas, karena dalam mengembangkan pengetahuan formalnya, peneliti perlu mengenal isu lapangan yang diminati dan perlu bersikap berhati-hati dalam menerapkan teori formal yang belum mengenal makna kesehari-harian dari pelaksanaan PBM.

Definisi Penelitian Tindakan Kelas

Deskripsi penelitian kelas pada bagian sebelumnya meletakkan dasar bagi definisi pendahuluan penelitian tindakan kelas; definisi yang lebih ketat dan formal sebenarnya masih terlalu sulit karena konsep mengenai penelitian kelas itu sendiri berkembang mengikuti pemahaman yang semakin mendalam. Diantaranya, menyangkut masih belum memadainya deskripsi metodologi karena masih perlu mempertimbangkan inti permasalahan PBM. Jadi, untuk sementara, definisi yang cukup memadai adalah bahwa; Penelitian tindakan kelas adalah suatu upaya untuk menjelaskan berbagai aspek dari hubungan antar-ketergantungan materi-subyek, pembelajar, dan pengajar sehubungan dengan isu totalitas dan logika-internal dari tugas social mengkonstruksi pengetahuan dari PBM. Upaya untuk memahami PBM diwujudkan melalui observasi langsung/tak-langsung, dan interviu menurut lingkungan alamiah PBM mengikuti kehati-hatian pandangan naturalistic dalam menjaga agar dampak intervensi dapat ditekan sampai sekecil mungkin. Agenda pengamatan seyogianya didasari oleh teori tertentu agar pengumpulan data dapat mengacu pada sistim deskriptif tertentu. Sistim ini merupakan perwujudan dari pandangan totalitas dalam menerapkan metodologi penelitian kelas.

B. Mengapa PenelitianTindakan Kelas?

Alasan utama beralihnya pandangan pakar pendidikan kepada penilitian tindakan kelas berawal dari keinginan untuk menyeimbangkan penilitian standar dengan penilitian lapangan nyata dari tugas mengajar. Temuan-temuan dalam penelitian standar hanya menghasilkan eksplanasi sepihak dan terbatas mengenai PBM; jadi, sebenarnya kurang memadai sebagai dasar untuk merencanakan untuk merencanakan dan merealisasikan proses PBM. Penelitian standar ini perlu dilengkapi dengan penelitian lapangan, diantaranya dengan fungsi konteks belajar-mengajar dalam kehidupan kelas sehari-hari.pengajar dilapangan sebenarnya mempunyai pengetahuanpraktis mengajar yang perlu dipadukan dengan pandangan teoritis PBM.

Sejarah mengenai penelitian pengajaran menurut isu keefektivan dan proses dan produk merupakan pelajaran berharga dari peneliti tidak mengulangi kekeliruan yang menimpa berbagai metoda belajar-mengajar berdasarkan isu tersebut. Di antaranya, kasus yang menimpa teknologi instruksional berupa pembelajaran berprogram adalah kekeliruan karena membatasi proses belajar pada prilaku nampak. Kasus yang menimpa pengajaran bahasa metoda audiolingualism
yang pada awalnya dihargai sebagai teori yang paling maju di dalam linguistic dan psikologi prilaku, berakhir dengan jalan buntu. Metoda audiolingualism adalah metoda yang dikembangkan berdasarkan teori yang cukup maju dari linguistic dan psikologi behaviorisme
(lihat Hambatan Metodologi, bab 2) yang walaupun cukup berhasil dalam latihan bahasa kemiliteran tetapi kurang berhasil dalam pengajaran kelas. Pembelajar cepat bosan oleh latihan berulang-ulang yang menjadi kegiatan utama, dan, lebih mengecewakan, pembelajar sebenarnya tidak memperoleh tambahan pengetahuan dari apa yang telah dikuasai (Allwright dan Bailey, 1991).

Dominasi penelitian-standar berdampak kurang menunjang keperdulian terhadap kesulitan dan hambatan nyata yang dihadapi oleh pengajar. Penelitian pendidikan standar umumnya dilaksanakan berdasarkan keperdulian pakar-luar berdasarkan isu keefektivan, dan proses dan produk. Isu ini tidak bersifat intrinsic terhadap permasalahan dalam totalitas dan logika internal PBM. Pakar tersebut, terutama kurang menghargai keutuhan masalah PBM terlihat dari upayanya yang terlalu memusatkan diri pada peranan pembelajar, peranan komponen pengajar dan komponen materi-subyek kurang dilibatkan. Orientasi penelitian-standar adalah untuk memenuhi keperluan institusi atau birokrat akan informasi untuk mendasari suatu kebijakan; bukan untuk memahami dan menolong pengajar memecahkan masalah nyata yang dihadapi di dalam kelas. Orientasi ini juga berhubungan dengan tujuan dasar, yaitu, mengukuhkan nilai empiric dari teori tertentu yang diwujudkan dalam bentuk antar-hubungan yang cukup terbatas dari variable-variabel penelitian. Variabel tersebut berkaitan erat dengan sifat populasi tertentu terlepas dari kekhasan anggota-anggota populasi. Validitas hasil-tamuan ditentukan oleh criteria seberapa jauh pengambilan sample mewakili populasi.

Kriteria dalam melaksanakan penilitian-standar tertuju pada kualitas desain, pengukuran variabel, pengolahan data secara statistic, dan tinjauan cermat atas data yang juga berfungs sebagai bukti. Hipotesis dirumuskan untuk menunjukkan bahwa kesahihan hasil-temuan dicapai jika mendapat dukungan statistic. Hipotesis yang dikukuhkan diasumsikan berlaku terhadap populasi atau kondisi yang sama dengan yang teliti. Keunggulan yang dicoba dikukuhkan adalah bahwa penelitian-standar ini mampu memanpankan bukti secara objektif dengan menghindari subjektifitas dan keputusan berdasarkan nilai tertentu. Dengan demikian konklusi yang sama akan diperoleh jika seseorang ingin melakukan replikasi dari penelitian tersebut. 

Keadaan diatas berdampak hilangnya kekuatan intellektual dari penelitian pendidikan; peneliti kurang mempunyai keperdulian terhadap logika-internal yang sebenarnya merupakan sumber dari permasalahan. Kebanyakan penelitian dilaksanakan sebagai tugas admistratif untuk memperbaiki pengajaran terlepas dari masalah yang lebih mendasar yang dihadapi oleh pengajar.

Peneliti tidak berupaya untuk melihat lebih jauh permasalahan yang dihadapi melebihi daripada sekedar permasalahan teknis. Logika-internal dari PBM dari yang merupakan sumber dari problema dan sebenarnya yang perlu diteliti, umumnya lepas dari perhatian peneliti, keadaan ini dapat dipahami karena metodologi untuk mengungkapkannya praktis belum secara menyeluruh diupayakan.

Tujuan Dasar PenelitianTindakan Kelas

Penelitian tindakan kelas mencoba mewujudkan keingintahuan peneliti secara utuh mengenai apa sebenarnya yang terjadi di dalam kelas melalui observasi kegiatan PBM. Peneliti kelas mempunyai lahan tersendiri dan secara metodologi dan teoretis berbeda dari penelitian standar.

Terdapat dua tujuan yang ingin dicapai oleh penelitian kelas.
(1) Mencoba mengatasi kesulitan yang dialami oleh studi tindakan (action research) dengan menjaga pekerjaan tetap konsistensi terhadap dasar teori tertentu.

(2) Mengembangkan penelitian yang tidak terjangkau oleh penelitian standar; yaitu, kehidupan nyata didalam kelas sebagai dunia mikro pendidikan yang dicoba diungkapkan menggunakan metodologi tertentu dengan melihatnya sebagai upaya mengkonstruksi pengetahuan.

Tujuan pertama dapat dicapai dengan menggunakan studi etnografi sebagai dasar, karena pada awalnya sudah berpandangan konstruktivisme (Mahoon, 1977). Studi ini melihat bahwa kegiatan di dalam kelas merupakan dunia tertentu dari tugas mengkonstruksi pengetahuan oleh pengajar dan pembelajar. PBM dipelajari berdasarkan rumusan yang sudah mapan mengenai subyek / atau kejadian-kejadian pengajaran sehubungan dengan tuntutan pemahaman atas materisubyek.

Dunia tersebut perlu dipertahankan sebagai target esensial untuk memahami proses pendidikan. Hasil pemahaman yang cukup memadai dalam bentuk logika internal PBM merupakan dasar pemetaan dan pendalaman masalah disatu pihak dan juga saran penyelesaiannya dilain pihak. Tujuan kedua dicapai melalui pengungkapan totalitas PBM berupa upaya untuk menggali permasalahan nyata yang dihadapi oleh pengajar. Kriteria ini kurang diperdulikan dalam penelitian-standar maupun kajian tindakan.

Dari perbedaan diatas, dapat dilihat bahwa sebenarnya penelitian kelas dan penelitian standar mempunyai domain dan dasar teori yang berbeda. Domain penelitian kelas adalah dunia mikro sedangkan domain penelitian standar adalah dunia makro dari pendidikan. Dari aspek
pengembangan teori, penelitian kelas masih perlu membatasi diri pada tugas mendeskripsi PBM dan memanpankan pengetahuan praktis mengajar guru; penelitian standar dilain pihak lebih menekankan pada tugas membuat pengukuhan mengenai aspek-aspek terpisah dari PBM untuk kepentingan pengelolaan institusional atau birokrat.

Jadi, perbedaan penelitian kelas dan penelitian standar bukan perbedaan kualitas, dan bukan juga perbedaan jenis (genre). Perbedaan ini berarti, kedua pandangan ini tidak bisa dipadu (sintesa) menjadi satu pandangan walaupun ini tidak menutup kemungkinan penggabungannya di dalan satu studi. Tetapi lebih penting, metodologi yang mendasari penelitian-kelas tidak perlu dijelaskan dan didukung oleh metodologi penelitian standar. Kemandirian penelitian kelas merupakan kondisi yang perlu diyakini oleh peneliti, yaitu, secara domain, metodologi, dan teori terpisah dari dasar penelitian standar. Keyakinan ini diperlukan agar dalam mengembangkan diri calon peneliti tidak disusahkan oleh kekuatiran mengenai perbedaan ini.

Masing-masing penelitian tersebut mempunyai dasar yang berbeda dalam memperkirakan keabsahan hasil tamuan. Jika dalam penelitian standar keperdulian utama adalah perluasan klaim melalui pengukuhan probabilistic (stastistik), dalam penelitian kelas keperdulianya adalah pendalaman interpretasi terhadap fenomena berdasarkan keterpaduan (coherency) eksplanasi yang dikembangkan.

Mengembangkan Pengetahuan-praktis Pelajar

Dengan demikian pandangan naturalistic kiranya cukup memadai walaupun ini perlu dipertajam dengan pandangan sosial (khususnya analisis-wacana) sebagai dasar metodologi untuk mengembangkan kriteria totalitas, dan dasar teoretis untuk meletakkan dasar keabsahan dari proses mengkonstruksi pengetahuan dari PBM.

Dasar analisis-wacana memberikan kemudahan dalam mengembangkan mendeskripsi pendahuluan mengenai interaksi belajar-mengajar; dasar argumentatif wacana memberikan kemudahan untuk memperdalam dan menguji keterpaduan eksplanasi yang dirumuskan sebagai jawaban terhadap masalah. Keterpaduan eksplanasi dikembangkan berdasarkan model Argumentasi Toulmin (1958).Sejalan dengan tugas pengungkapan makna, model ini yang menggunakan aspek substantif sebagai dasar untuk mengembangkan eksplanasi. Model ini membuka jalan untuk mendeskripsikan variasi dalam mengkonstruksi pengetahuan materisubyek dalam kehidupan kelas sehubungan dengan criteria totalitas dari kegiatan belajarmengajar. Yang dimaksud dengan peranan teori dalam penelitian kelas adalah dalam konteks theorizing yang mendekati PBM dalam rangka merefleksikan secara sistematik dan kritis mengenai pelaksanaan mengajar.

Upaya untuk secara sistematik dan krisis melibatkan dasar filosofi, penggunaan bukti, dan rujukan terhadap teori. Tetapi tidak ada alasan bahwa pekerjaan tersebut akan berakhir dengan teori. Penelitian kelas berkenaan dengan menolong pengajar untuk berteori, yaitu, berpikir lebih sistematik, kritis, dan inteligen mengenai praktek mengajar 

Walaupun pandangan dari definisi tersebut sudah mirip dengan penelitian kelas dalam buku ini, disayangkan bahwa pandangan mengenai fenomena PBM sebagai wacana untuk merumuskan totalitas dan logika internal belum menjadi perhatian. Dengan bekal diatas, tujuan pragmatis dari penelitian kelas untuk mendeskripsikan dunia yang dikonstruksi di dalam kehidupan kelas dapat diarahkan pada pendalaman pemahaman. Tugas mengajar dan bagaimana pengetahuan-praktis guru berkembang dapat dideskripsi lebih cermat daripada sekedar pengamatan. Seperti halnya dalam profesi kedokteran dimana studikasus merupakan sumber data bagi pengembangan ilmu, hal ini kiranya juga berlaku untuk profesi pendidikan. Pengetahuan-praktis pengajar yang dibangun dari pengalaman yang cukup lama dapat menjadi sumber pengetahuan untuk melengkapi pengetahuan formal para pakar pendidikan.

Untuk mewujudkan tujuan di atas, pengetahuan-praktis pengajar berpengalaman (‘the wisdom of practice; Shulman,1986) perlu didokumentasi untuk merumuskan bagaimana pengetahuan tersebut berkembang mulai dari pengajar pemula hingga hingga menjadi pengajar ahli. Selama ini, Pengetahuan-praktis pengajar kurang dikembangkan menjadi pengetahuan formal, karena belum dikodifikasi (tacit knowledge). Ini menyebabkan pengajar berpengalaman sukar mengungkapkan pengetahuannya kepada pengajar pemula. Jika ini dapat diatasi, jangka waktu untuk menjadi guru ahli yang berkisar 10 hingga 15 tahun dapat dipersingkat berdasarkan pengetahuan-praktis tersebut.

C. Apa Kendala dalam Penelitian Tindakan Kelas
Kompleksitas dari PBM merupakan beban mental yang cukup berat, yang membawa pengembangan penelitian kepada situasi yang sulit, terutama dalam aspek metodologi. Secara intutif, kecanggihan metodologi penelitian tindakan kelas perlu melebihi kerumitan masalahmasalah yang muncul dalam kehidupan kelas. Seyogianya, metodologi tersebut harus mampu mendeskripsikan tidak saja setiap komponen PBM tetapi juga, terutama, menjelaskan interaksi komponen-komponen tersebut yang masih beragam oleh peranan konteks, budaya, dan nilai lingkungan. Metodologi yang hanya mampu menganalisis salah satu aspek saja adalah metodologi yang ‘tumpul’ yang tidak memberikan gambaran utuh mengenai suatu permasalahan. Kerumitan masalah kiranyan perlu juga diimbangai dengan metodologi yang canggih yang mengenal kerumitan permasalahan.

Tiga kesukaran dalam metodologi penelitian tindakan kelas dapat dirumuskan sehubungan dengan kerumitan dari PBM.

(1) Perlunya suatu model empiric yang dapat memetakan PBM berdasarkan komponen pelaku, interaksi komponen, dan konteks dari proses.
(2) Norma dan nilai yang berubah-ubah menurut sekolah dan kelas perlu dipisahkan menurut langsung-tidaknya peranannya terhadap PBM. Pemisahan ini membantu dalam mendokumentasi hasil penelitian.
(3) Fungsi evaluatif dari penelitian, karena kehidupan kelas menyangkut nilai dan norma yang diaktualisasikan sebagai budaya kelas, perlu dilihat sebagai isu terpisah.

Dapat dimengerti mengapa banyak penelitian yang mencoba menghindari kesukaran di atas karena alasan bahwa norma dan nilai sukar diobservasi dan bahkan bersipat maya (elusif). Kondisi ini kurang sejalan dengan pandangan penelitian standar yang mensyaratkan bahwa obyek penelitian harus dapat diamati, dimanipulasi, dan diukur. Pandangan sederhana ini telah membawa upaya untuk memahami kehidupan kelas kurang berkembang.

Proses wacana dalam mengkonstruksi pengetahuan selalu melibatkan motif (Mathiesen, 1994), tetapi pandangan ini bersifat kontradiktif dengan criteria dalam penelitian standar. Karena: Penelitian tindakan kelas (oleh penelitian standar) tidak bertujuan, dan sebenarnya tidak mampu, memanpankan “fakta” dalam pengertian yang sederhana sekalipun, tidak juga “fakta” dapat langsung menjurus pada kebijakan atau pelaksanaan yang dapat memperbaiki nasib manusia (Biddle dan Anderson, 1986).

Kurang berhasilnya penelitian standar mengatasi ketidak-mampuan tersebut disebabkan oleh penggunaan metodologi yang kurang potensil menangani sifat elusive fakta yang selalu merupakan permasalahan. Walaupun demikian, peneliti perlu tetap mengusahakan pengungkapan masalah dalam kelas meningkatkan kemampuan metodologi untuk membuat perkiraan yang cukup beralasan. Peneliti perlu meyakini bahwa suatu penelitian yang walaupun belum sempurna tetapi berupaya memecahkan masalah nyata dapat meningkatkan citra profesional yang lebih baik daripada sikap ketidak-perdulian profesional.

Mendeskripsikan Pengetahuan, Nilai dan Norma

Sifat data dari PBM yang elusive merupakan sumber kesulitan dalam mengembangkan penelitian-kelas,; yaitu, pengamatan PBM tidak dapat menghasilkan perumusan langsung mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pengajar. Dengan hanya meminta pengajar untuk menyatakan apa yang diyakini dan diketahuinya tidak menjamin bahwa apa yang dilaporkan dapat mengungkapkan pandangannya yang lebih mendalam. Mengabaikan kemungkinan seseorang mencoba memberi ‘kesan’ pandai, menimbulkan kesukaran dalam memperkirakan apa yang dilaporkan. Jikapun tersedia cara tertentu untuk melaporkan proses mentalnya, ini masih dipersulit oleh peristilahan yang belum dikodifikasi untuk memungkinkan berlangsungnya suatu komunikasi.

Belum ada solusi teoretis yang cukup memadai untuk mengembangkan suatu metodologi yang mampu merumuskan hasil observasi sebagai fakta. Metodologi yang ada mungkin belum mampu mengungkapkan bagaimana pengajar memikirkan pekerjaan mereka. Sebaliknya, pengajar juga kurang mampu mengungkapkan keragaman pandangan yang digunakannya untuk berbagai konteks. Keadaan ini digambarkan oleh Schwab (1959) sebagai kesenjangan konseptualisasi: Konsep yang dikembangkan oleh pihak akademisi kurang lentur dalam mendeskripsikan pengetahuan-praktis pengajar.

No comments:

Post a Comment